Suatu ketika, kami berbincang dengan Rektor Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) periode awal, Prof Purwo Santoso. Dalam suasana hangat, Prof Purwo mengajak kami untuk berbagi ide tentang apa itu ‘laboratorium sosial’.
Ada berbagai cara untuk menjelaskannya. Laboratorium sosial dapat menjembatani dunia keseharian dengan kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang biasanya diserahkan pada industri, atau perusahaan, atau mereka yang menguasai teknologi.
Dalam kondisi keilmuan yang ada, istilah ilmiah menjadi wilayah yang sangat eksklusif bagi para ilmuwan, terutama eksakta. Verifikasi keilmuan mereka dilakukan secara ketat dan berlangsung di laboratorium. Ketatnya cara kerja yang digunakan kampus untuk menjamin kebenaran bahkan memunculkan bahan olok-olok ‘menara gading’.
Nah, apabila yang kita bicarakan adalah problem solving bagi masalah kebersamaan, masalah kebangsaan, masalah toleransi, atau masalah-masalah yang mengharuskan adanya kesamaan konstruksi sosial maka proses yang ketat itu menjadi tidak relevan. Karena, pada dasarnya, manusia cenderung mengacu pada konsepnya sendiri.
Oleh karena itu, hal yang dipentingkan bukan lagi verifikasi kebenaran yang sifatnya mutlak secara empiris, tetapi kebersamaan memahami realitas. Kita dapat menyebutnya sebagai ‘aspek kekitaan’.
Bagaimana merawat kekitaan dan problem bersama menjadi masyarakat? Bagaimana merawat kekitaan dan problem bersama menjadi sebuah negara?
Laboratorium sosial dapat menjembatani kampus dengan simpul pembelajaran masyarakat. Jelasnya, perlu menjembatani watak kampus yang bersifat elitis-eksklusif itu dengan realitas sehari-hari, sebagai proses mencerdaskan kehidupan bangsa, sehingga tidak ada lagi kategorisasi ketat antara sifat ilmiah dengan keseharian masyarakat. Karena, di dalam keseharian masyarakat itulah kita bisa tumbuh dan berkembang bersama, menggeluti realitas.
Mengembalikan Ruh KKN Perguruan Tinggi
Terus terang, istilah laboratorium sosial hanyalah modifikasi ide-ide yang sudah dikenal oleh masyarakat. Sadar akan keringnya ilmu yang dikembangkan oleh kampus, tokoh senior UGM, almarhum Prof Harjo Sumantri, mengusung konsep Kuliah Kerja Nyata (KKN). Ide dasarnya, memastikan keilmuan mahasiswa, yang diasumsikan sebagai calon pemimpin, agar memahami realitas di dalam masyarakat.
KKN mewajibkan calon sarjana untuk terjun ke masyarakat. Misinya bukan untuk mengajari masyarakat, tapi bagaimana belajar merumuskan masalah, lalu menghayati dan mencarikan solusinya di masyarakat. Tetap saja prosesnya adalah proses kuliah yang belajar dari masyarakat, dan bukan menggurui masyarakat.
Munculnya resistensi terhadap KKN di berbagai tempat karena kampus hanya menggunakan masyarakat sebagai syarat wisuda mahasiswa. Jadi, proses belajarnya hilang. Proses eksperimen tidak diapresiasi. Masalah dirumuskan secara sepihak. Tidak ada titik temu antara apa yang dianggap masalah oleh kampus dengan masalah warga tempat KKN digelar.
Padahal, KKN bisa saja tetap mengedepankan aspek kuliah, lalu masyarakat didudukkan sebagai laboratorium yang mengasah kepekaaan sosial, kepedulian, dan kebersamaan tim KKN. Tim bisa belajar bersama masyarakat. Itulah sumber pengetahuan, bukan obyek sosialisasi.
KKN waktunya dikembalikan kepada ruhnya. KKN harus mendudukkan masyarakat sebagai sumber pembelajaran dan simbol-simbol pembelajaran, karena di sana banyak sekali kearifan yang tidak terdokumentasi. Terlebih, warga kampus terlalu sibuk dengan bacaan dari kultur lain yang tidak sempat direnungkan.
UNU Yogyakarta dan Inovasi Pendidikan Berbasis Pesantren
Jadi, sekali lagi, kampus tidak harus terlalu kaku dengan standar ilmiah yang hanya memuaskan kepentingan ilmuwan. Kampus dapat memberlakukan masyarakat sebagai simbol pembelajaran dan kebersamaan dalam menggeluti masalah.
Titik temu ini, bila terjadi, disebut sebagai ilmiah, atau arif, atau tepat guna, atau kontekstual, dan seterusnya.
Dengan begitu, kegiatan keilmuan dan kegiatan kemasyarakatan tetap melebur menjadi satu. Syaratnya, kampus tidak terlalu ketat dengan pagar-pagar keilmuan dan pagar-pagar metodologis. Sebab, secara sosial, berbagai macam metodologi dan keterbukaan antara ilmuwan terhadap berbagai macam metodologi itulah yang memungkinkan universitas menjadi bermanfaat. Di sisi lain, masyarakat mempunyai harga dirinya sebagai sumber pembelajaran.
Keperluan kita dalam mengembangkan laboratorium sosial, karena kampus terlalu terspesialisasi dan tidak terlalu lincah menggunakan metodologi dalam pendekatannya. Pada saat bersamaan, kita juga tahu, masyarakat semakin kaya dengan pengetahuan. Apalagi di era sekarang. Akses terhadap informasi sudah sangat mudah dan tak terbatas. Untuk itu, kampus sudah tidak lagi memegang monopoli sebagai simpul pengembangan ilmu.
Akses terhadap pengetahuan telah menghasilkan pengetahuan bahwa masyarakat, dari dulu, adalah simpul pengetahuan. Ada urgensi menjembatani tradisi keilmuan yang sangat saksama dengan tradisi masyarakat yang sangat arif.
Dan dari sisi ekonomi, sekarang sudah banyak dikembangkan ekonomi berbasis pengetahuan. Sumber pengetahuan itu pun ada di mana-mana. Sharing ekonomi telah menjadi tren.
Apabila kita hendak menyejahterakan dan mencerdaskan masyarakat, simpul kecerdasan kini tidak hanya di kampus, tapi juga masyarakat. Itulah mengapa, laboratorium sosial harus dikembangkan.
Laboratorium adalah media untuk mengolah dan mematangkan ilmu guna dipraktikkan. Lebih dari itu, tempat untuk memverifikasi inovasi yang dikembangkan lebih lanjut.
Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) adalah instrumen Nahdlatul Ulama (NU) yang menawarkan inovasi pendidikan berbasis pesantren. Prof Purwo mengabarkan kepada kami bahwa UNU Yogyakarta menawarkan laboratorium sosial yang akan sangat berguna bagi mahasiswa dan masyarakat. Laboratorium Sosial, para praktiknya adalah Mentoring Literasi bagi Mahasiswa.
Beberapa terbitan yang lahir dari Laboratorium Sosial UNU Yogyakarta adalah buku berjudul Potret Wajah Panggungharjo, SDG's Desa dari Kacamata Agribisnis, Kupas: Inovasi Kemandirian Masyarakat Panggungharjo Melalui Pengelolaan Sampah.
Share
Copyright © Pandiva | All rights reserved. Website by JMW