Tulisan tentang Desa Sumberejo, Kecamatan Klaten Selatan, Kabupaten Klaten, harus diakui, tidaklah banyak. Dari sekian yang sedikit itu, saya mengetengahkan sebuah karya lawas, tahun 1993, berjudul Di Bawah Sang Merah Putih: Tentara Pelajar Klaten Mengabdi.
Buku setebal 87 halaman ini ditulis dan diterbitkan oleh Yayasan Pelajar Pejoang Klaten. Siapa sangka, buku langka tersebut telah didigitalkan Universitas Michigan, Amerika Serikat, 22 Agustus 2007 silam.
Karya itu tidak khusus membahas Sumberejo. Meski begitu, Sumberejo termaktub jelas pada beberapa halaman buku, tentang dahsyatnya perlawanan Tentara Pelajar Klaten pada masa Agresi Militer Belanda II. Agresi dengan istilah Belanda, Operatie Kraai (Operasi Gagak), terjadi pada 19 Desember 1948, diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia ketika itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir, dan beberapa tokoh lainnya.
Pada literatur tersebut, Sumberejo, melalui Bendogantungan, diceritakan sebagai tempat pertempuran sengit Tentara Pelajar dengan tentara Belanda. Pertempuran berlangsung pada rentang waktu bulan Juli 1949. Beberapa tokoh Tentara Pelajar Klaten gugur, di antaranya Saudara Sunadi.
Tidak hanya di Bendogantungan, peristiwa pertempuran sengit juga terjadi di Mudal Gunungan dengan gugurnya Saudara Soedibyo, sampai dengan dipatuhinya Perintah Gencatan Senjata dari Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia, pada tanggal 3 Agustus 1949.[1]
Ulasan herois kiprah para tentara pelajar di Klaten dengan menurut-sertakan Desa Sumberejo sungguh apresiasi yang tak terkira. Meski secuil, kronik keberanian nan legendaris itu lantas dikenang turun-temurun hingga kini sebagai semangat untuk terus berbuat baik, bagi warga Desa Sumberejo. Setidaknya, meski sedikit, ada juga yang bisa diceritakan dan ternyata ada manfaatnya bagi khalayak, bahkan republik.
Asal-usul Bendogantungan
Umumnya, banyak orang lebih mengenal Bendogantungan, daripada Desa Sumberejo. Jadi, tidak ada salahnya bila Bendogantungan lantas menjadi ikon yang layak untuk dielaborasi, termasuk asal-usulnya.
Sebagian warga Desa Sumberejo yakin bahwa Bendogantungan pernah dilewati Ki Ageng Pandanaran. Anda pasti tahu, tokoh ini adalah bupati pertama Semarang yang diangkat oleh Sultan Demak Bintara. Ki Ageng Pandanaran dikenal sebagai tokoh penyebar Islam, meskipun tidak termasuk dalam Walisanga.
Kisah tentang Ki Ageng Pandanaran bermula saat ia dan istrinya tengah berjalan kaki, suatu hari di Semarang, mereka bertemu dengan seorang penjual rumput. Sang penjual rumput yang telah tua itu memohon Ki Ageng Pandanaran untuk membeli barang dagangannya. Sayangnya, Ki Ageng Pandanaran justru bertingkah sombong dan berniat membeli rumput itu dengan harga murah.
Tiada dikira sebelumnya, sang penjual rumput ternyata adalah seorang yang sakti mandraguna. Barang yang dipikul penjual rumput kemudian dijatuhkan ke tanah dan berubah menjadi emas recehan. Bukan hanya itu, cangkul yang dia bawa kemudian digunakan untuk mengeruk tanah dan keluarlah emas.
Menyusul ketakjubannya, Ki Ageng Pandanaran meminta supaya pria tua tersebut mengakui siapa jati dirinya. Setelahnya, pria tua itu kemudian menunjukkan siapa dirinya. Dia adalah Sunan Kalijaga.
Bukan main malunya Ki Ageng Pandanaran. Ia lalu bersujud di depan Sunan Kalijaga. Oleh Sunan Kalijaga, Ki Ageng Pandanaran kemudian diminta untuk bertaubat dan menuju Gunung Jabalkat di Bayat.
Ternyata perjalanan menuju Bayat tidaklah mudah. Banyak ujian merintangi. Salah satunya, saat perjalanan sampai di Salatiga, mereka dirampok. Ki Ageng Pandanaran menyebut para perampok berwatak seperti kambing rakus. Keajaiban terjadi. Kepala sang rampok berubah menjadi kepala kambing. Para rampok pun bertaubat dan bersedia menjadi murid Ki Ageng Pandanaran.
Setibanya di Bendogantungan, rombongan Ki Ageng Pandanaran diganggu oleh jin. Karena merasa terganggu, Ki Ageng Pandanaran menggertak jin itu hingga menggantung di sebuah pohon besar bernama bendo. Sejak saat itu, wilayah tersebut disebut dengan Bendogantungan. Artinya, pohon bendo yang dipakai untuk menggantung jin.
Namun sungguh disayangkan, kini pohon bendo yang dimaksudkan dalam kisah Ki Ageng Pandanaran tidak lagi dapat ditemukan, karena telah ditebang. Dahulu, pohon bendo besar itu diyakini berada di sebelah utara lampu merah Bendogantungan.
Sumberejo Desa Literasi
Berangkat dari setidaknya dua referensi yang telah saya sebutkan, yakni tentang kiprah tentara pelajar dan asal-usul Bendogantungan, saya kemudian menginisiasi Sumberejo Desa Literasi. Bahwa konten yang berserak di Desa Sumberejo sebenarnya dapat diolah menjadi produk literasi.
Literasi tentu saja bukan hanya tentang membaca dan menulis. Literasi saya maksudkan untuk sampai pada manajemen pengetahuan. Bila semua hal di Desa Sumberejo terbiasa untuk diliterasikan, implikasinya akan sangat besar. Banyak studi bisa dikembangkan, karena produk literasi yang melimpah. Literasi sekaligus membawa branding desa, berikut semua potensi Sumberejo yang selama ini, belum tentu pernah diekspose intensif.
Untuk sampai pada Sumberejo Desa Literasi, komitmen perangkat desa dan warga desa menjadi bagian pentingnya. Tanpa keterlibatan perangkat dan warga, rasanya mustahil untuk mencapai predikat Desa Literasi. Mari berliterasi.
Terbitan perdana yang hadir untuk khalayak Pembaca tentang Desa Sumberejo, Kecamatan Klaten Selatan, Kabupaten Klaten, adalah buku berjudul Seabad Sumberejo karya Sang Kepala Desa, Tri Rahardjo.
[1] Yayasan Pelajar Pejoang Klaten. 1993. Di Bawah Sang Merah Putih: Tentara Pelajar Klaten Mengabdi. Klaten: Yayasan Pelajar Pejoang Klaten. h. 11, 31, dan 36.
Share
Copyright © Pandiva | All rights reserved. Website by JMW